Thursday, October 23, 2008

Conundrum

Tangled Hierarchy : Cinta, Matematika dan Paradox Antara Keduanya

by Aria for The Knight of Columbus Journal – Waxahachie, Texas (Oct 2006)

images from: http://www.pebblesfromparadise.com

Tangled Hierarchy: a phenomenon in which, whenever movement is made upwards or downwards through the levels of some hierarchical system, the system unexpectedly arrives back where it started. Hofstadter (1987) uses the strange loop as a paradigm in which to interpret paradoxes in logic (such as Grelling's paradox and Russell's paradox) and calls a system in which a strange loop appears a tangled hierarchy.

Cinta menginspirasi para pujangga untuk mengalami trance dalam keindahan lirik dan prosa. Cinta menjadi sumbu yang mengalirkan hasrat manusia hingga mencapai chaos. Cinta adalah interpretasi manusia terliar atas keadaan yang dia sama sekali buta dan tak tahu harus bagaimana menguasainya. Namun, adakalanya cinta datang begitu sederhananya, tanpa interpretasi, tanpa chaos, tanpa lirik maupun prosa, apalagi matematika. Just the way it is.

Kenapa matematika? Karena matematika ditakdirkan sebagai quantifying knowledge. Melahirkan sebuah premise yang definite dari sebuah proses pengukuran. Dan kenapa cinta harus bersanding dengan matematika? Karena keduanya terlibat dalam sebuah paradox yang serupa, tangled hierarchy.

***

Tangled hierarchy adalah perfection, kesempurnaan, jaring laba-laba sekaligus lubang hitam yang bisa menyedot habis setiap remah eksistensi manusia.


Tapi kesempurnaan jugalah satu-satunya hal yang membakar jiwa manusia menuju perubahan, yang
menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin. Seperti mata pedang dalam tempaan bara. Kesempurnaan fisik, religius maupun materi adalah tujuan akhir sebuah perjalanan yang kadang amat sakit dan meletihkan; namun kesempurnaan itu pula oasis di antaranya, laksana pil sakti untuk segala mala.

Bintang jatuh, meteorit, adalah kesempurnaan yang kasat dari mata manusia, jatuh terbakar dan habis namun memberi keindahan teramat sempurna, walau sebentar saja, kadang hanya sedetik ditambah satu.

Seperti pula lilin yang menerangi para cendekia di kapel-kapel mahzab akademia, melalui cahaya ia mengantarkan ilmu pengetahuan penyingkap rahasia alam, namun setelahnya ia punah dan lebur, dan ia terlupakan begitu saja.

Demikianlah. Namun semesta raya bukanlah dunianya ahli matematika, bukan pula para pujangga cinta, para penghuninya hanyalah manusia biasa. Sehingga manusia biasa memaknainya dengan konteks yang lebih sederhana; tangled hierarchy adalah sesuatu yang berbelit dan, tanpa tahu sebabnya, membingungkan. Ya membingungkan, itulah definisi sederhana tentang tangled hierarchy, end of discussion.

Thursday, October 09, 2008

Kabar dari Lukla

"backpack abu-abu itu...... "

Sebulan yang lalu, gue rencananya mau cuti, trekking ke Himalaya (Nepal). Harusnya mulai minggu ini, habis lebaran, 4 Oct – 11 Oct.

Gue udah buking travel di Nepal, akomodasi, guide, hostel sampai pesawat yg bakal nganter ke basecamp Everest. I booked Yeti Air, pesawat kecil yang bisa sampe ke pegunungan tinggi dan mendarat di landing strip pendek, semacam bandara-bandara kecil di pedalaman Papua.

Scheduled to depart 8 Oct 2008. 09:00AM-10:00AM Kathmandu – Tenzing-Hillary Airport (orang lokal menyebutnya Lukla, terletak di pegunungan Everest). Tenzing & Hillary sendiri adalah trekker yang tewas dalam kecelakaan pesawat di airport yang sama, beberapa dekade silam.

Seneng banget deh, udah cerita-cerita ke temen-temen…especially Jomima, my travel buddy.

Yang belum OK tinggal pesawat dari Singapura – Kathmandu (Silk Air). Gue dapet harga murah banget deh, less than SIN$ 600/one way.

Somehow, pas booking online, internet gue putus. Dan pas gue re-book seat nya udah ngga ada. Jadi terpaksa gue cancel deh semua itinerary di Nepal.

Baru dapat trekking visa lagi tahun depan. Padahal udah bayar US$700 cuman buat permit nya doang.

Pagi ini, 9 Oct, gue dapat e-mail dari agent gue di Nepal. Hari Prasai namanya, dari Rhino Adventure Trek yang mengurusi perjalanan gue.

Sir, the flight you have previously scheduled to board, Twin Otter Yeti Air has crashed in Lukla.The plane was caught in fire while trying to land amidst poor visibility due to fog and iffy weather. All 18 passengers and crew reported dead, including Evan, your team member along with 2 other Australian trekkers.”

I WAS regretting my 8-million-gone-money. Complaining to God why all this stupid things happened and why me. Now I THANK that my life was rescued by invisible scenario, which I had not known, until it happened, now.

"sesaat setelah crash"

VOA News link :
http://www.voanews.com/english/2008-10-08-voa8.cfm
Bangkok Post link :
http://www.axilltv.com/bkpost-2.php?newsid=346067

(untungnya di berita tersebut tidak ditulis : "there were two empty seats previously booked for Mr. ... & Ms.... from Indonesia who canceled their trip due to broken flight itinerary."

"airport Lukla...keindahan yang mematikan"

Saturday, October 04, 2008

Nanggu Island (4) : Pantai dan Damai

Pantai Barat
Pantai Barat adalah spot paling romantis di pulau ini, kata Nando, seorang pelancong dari Swiss yang baru menikah. Masih muda dan pergi bersama isteri nya, Caroline. Ya iyalah.... Bagi saya yang nggak ngerti makna kata "romatis" dalam konteks ini akan menerjemahkannya sebagai "yeah, it's where I chase the sunset and lay down waiting naked without anybody notice". I did.

Tapi benar juga sih kata Nando dan Caroline, buat mereka ngapain jauh-jauh datang dari Swiss kalau tidak ada yang istimewa di pulau ini. Apalagi bagi para backpackers dari Belarus itu, ngomong Inggris aja susah, kalau ngga ada yang special di sini it's a mere waste of time and energy.

Bagi saya, seorang pemburu senja, memang di sinilah tempatnya. Nanti sore pasti saya akan melewatkan setidaknya dua jam rebahan di pasir sambil memandangi horizon yang bersiap menangkap sang surya, tanda usainya muhibah keliling langit selama satu hari.

Pantai Tenggara
Pantai Tenggara menghadap ke ujung barat daya pulau Lombok. Melalui selat inilah jukung-jukung nelayan biasanya berlalu-lalang. Sesekali terlihat perahu motor Dream Divers yang membawa para peselam-peselam asing (saya tidak pernah melihat rombongan peselam lokal, padahal terumbu karang di daerah ini sungguh amat memesona). Well, anyway selain pegawai penginapan, saya juga satu-satunya penghuni lokal di pulau ini. Hmm.... bangsa yang aneh.... Jadi teringat traveling bareng Jo di Kamboja dan Laos.

Nah, ke pantai inilah arah silo saya menghadap. Keren kan.... makannya sebelum sarapan pagi, saya selalu nangkring di jendela, menghadap pantai. Mendengarkan riak-riak ombak yang menjilati bibir pantai, dan sesekali melihat layar jukung yang berwarna-warni melambai di kejauhan. Mandi pagi? Forget it lah. Di sini tidak ada air tawar untuk mandi. Jadi tinggal nyebur aja ke laut, pipis dan lap lap pakai handuk. Done!

Pantai Timur
Pantai Timur adalah pantai teduh. Tempat bermeditasi. Panjangnya tak lebih dari 150 an meter, melengkung seperti bumerang Australia. Di sini terdapat signboard "Welcome to Nanggu Island" karena perahu-perahu pasti melewati pantai ini. Di tepiannya terdapat balai-balai, tempat orang bermeditasi, dan tempat penjaga di waktu malam hari.

Saya paling suka ber-snorkeling di daerah sini. Lima meter dari bibir pantai sudah terdapat cekungan dalam yang berisi terumbu karang dan ikan Napoleon yang lucu itu. Sesekali lewat kumpulan ikan berwarna belang kuning dan hitam, persis harimau Sumatera. Ada juga tumbuh-tumbuhan berwarna ungu. Rumput-rumput lautnya berwana kehitaman, amat licin. Sayangnya menjelang siang, arus laut menjadi makin kencang, sehingga snorkle saya sering kemasukan air. Waktunya berbilas lalu berjemur lagi...

Pantai Utara
Pantai Utara berpasir kasar, berkerikil warna cokelat muda. Banyak sisa-sisa terumbu karang dan kerang yang terdampar di pantai ini. Sepertinya disini biasa dipakai buat bakar-bakaran di malam hari, terlihat dari sisa-sisa arang campfire yang tersisa.

Di belakang pantai ini terdapat hutan, yang dibelah oleh jalan setapak untuk mencapai Pantai Barat. Tidak seperti hutan-hutan biasa yang berisik suara serangga, hutan disini amat sunyi, dan kering. Pohon-pohon meranggas dan tak satupun binatang yang terlihat (mudah2 an tidak ada dino yg mucul tiba2 dari balik semak seperti di film Jurassic II, hii....)

Di ujung sebelah kiri pantai, terdapat bongkahan batu besar yang terlihat menyandar ke tebing, reclining rocks. Betapa dahsyat gelombang yang mengempaskannya ke pantai, mungkin ribuan tahun lalu.
Pantai Selatan

Pantai Selatan adalah dermaga, tempat bersauhnya sampan-sampan dan tempat dari mana semua kehidupan di pulau ini bermula. Tidak ada yang istimewa dari pantai ini, hanya saja ujung sebelah kirinya yang menyambung dengan Pantai Tenggara memang tempat snorkeling yang menarik. Saya suka berjemur disini juga, sambil memandangi lalu lalang perahu yang mengangkut makanan dan air ke Nanggu.

Nanggu Island (3) : Meditating

Pergi ke Nanggu adalah untuk menyendiri. Walaupun datang beramai-ramai, tetap saja ada momen-momen dimana kita pasti ingin menyendiri di pulau ini.

Setelah berjalan-jalan mengelilingi pulau, saya ingin kembali ke penginapan, sebuah silo berbentuk panggung, rumah tradisional orang Sasak. Di depan jendela saya adalah pantai Tenggara, pulau Lombok terlihat jelas dari sudut ini. Juga pulau Suda yang hanya beberapa ratus meter saja dipisahkan oleh selat.

Di depan silo nomor 6 tempat saya menginap ada balai-balai tempat orang memandang laut. Nah, disitulah si David rupanya nongkrong dari tadi. Dia adalah seorang backpacker dari Belarus, katanya negara nya itu dekat dengan Rusia, antara Ukraina dan Latvia. Well, simply somewhere in eastern Europe deh... dan dia berbahasa Rusia. Dia datang berempat dengan teman-teman kampus nya, mereka semua sedang diving. David menyendiri, seperti saya.
Kembali ke kamar, rasanya sayang, hari masih sore dan sebentar lagi senja. Akhirnya saya ambil tripod dan berjalan lagi ke pantai Barat. Menunggu senja.

Pasir pantai Barat ini sangar lembut, lebih empuk dari spring bed di kosan saya. Warnanya putih, seperti gula pasir yang diberi pemutih di supermarket. Tiduran dulu ah.....

Banyak sekali potongan terumbu karang dan kerang-kerang yang terhempas ke pantai, saya paling suka dengan teripang merah, warnanya eksotis. Sayangnya warna merahnya hanya akan menyala jika dibasahi dengan air laut, jadi kalau di bawa pulang warnanya akan pudar menjadi kecoklatan. Memang, seperti kata ayah saya dulu, jika pergi ke pulau terpencil janganlah membawa sesuatu kecuali kenangan, dan janganlah meninggalkan sesuatu kecuali jejak. Alright, Dad. You're right.

Nanggu Island (2) : Sampai di Pulau

Lamat-lamat mulai terlihat daratan, dengan deretan perdu dan pokok-pokok randu memagari pantai berpasir putih dan berkerikil warna kuning muda, reruntukkan terumbu karang yang terhempas ke pantai. Itulah Naggu.

Agak lega rasanya melihat daratan, paling tidak kalau terjadi apa-apa saya mampu berenang ke tepian. Amit-amit deh. Mendekati Nanggu, warna laut yang tadinya biru kehitaman berubah menjadi tosca, seperti warna batu amethyst kakak saya. Lalu mendekat ke daratan warnanya tergradasi menjadi biru muda, pucat. Mungkin tidak sepucat muka saya di tengah laut tadi....ssst ngga ada yang liat ini hehehe.

Dermaga di Naggu hanya berupa papan bersusun selebar satu meter yang menjuntai ke arah keramba terapung tempat menambatkan sampan. Di pagi hari sesekali jukung nelayan (perahu berlayar segitiga) singgah di sini, mereka mengantar ikan segar untuk dijual ke penginapan. Itulah menu kami hari itu, fresh seafood langsung dari laut. Semua supply kehidupan di pulau berawal dari sini. Air, makanan, dan semua kebutuhan hidup dibawa dengan sampan melalui dermaga ini dari Lombok. Kalau misalnya tiba-tiba ada yang sakit malam-malam gimana ya? Kalau ada badai atau high tide? .... tiba-tiba semua yang seram-seram muncul di benak. Tapi terlanjurlah saya mendarat di sini. This is the point of no return. Lagi pula terlalu sayang semua keindahan di pulau ini dilewatkan hanya gara-gara khayalan konyol ini. This gonna be my paradise!
Dengan panjang tak lebih dari 300 meter, mengelilingi Nanggu hanya perlu setengah jam berjalan. Dan Nanggu adalah sorga bagi para penyendiri, seperti saya. Ketika para penghuni lain sedang diving atau snorkeling di laut, saya memilih berjalan-jalan saja di pantai, lalu masuk ke hutan, terlihat tandus dengan ranting-ranting kering yang berserak. Tak ada unggas di pulau ini, hanya kadal dan kura-kura serta ular dan kepiting. Sesekali burung bangau putih singgah bergerombol saat musim migrasi, kata seorang penjaga. Setelah "berbelanja" ikan di pantai mereka melanjutkan perjalanan ke utara, untuk kembali ke benua Australia saat musim panas nanti. Para burung musafir, betapa bahagianya mereka di alam kebebasan.

Nanggu Island (1) : Menuju Pulau

Nanggu Island para backpackers menyebutnya. Orang lokal menamainya Gili Nangu atau Pulau Nangu. Letaknya di selatan pulau Lombok. Untuk bisa sampai ke pulau mungil ini, para traveler biasanya mengusung backpack karena harus berganti-ganti sampan dan perahu. Kalau para madam ingin bawa koper segede kulkas....well, forget it lah. Sampan bercadik yang panjangnya ngga lebih dari dua setengah meter kayaknya bakal ngambek ngangkut mereka, belum lagi hempasan air riak-riak selat yang selalu membasahi pakain kita dalam perjalanan satu jam menyeberangi selat. Ya, satu jam--kadang dua jam bila ada gelombang tinggi--terkatung-katung di atas sampan mini di tengah selat dalam yang lautnya berwarna biru kehitaman bukanlah suatu liburan yang extravagant. Sorry madam, bye bye for now.

Eniwei,...untuk ke Nanggu kita bisa berangkat dari pelabuhan Padang Bai Bali. Naik Ferry tujuan pelabuhan Lembar di Lombok. Kira-kira empat jam perjalanan. Saya sampai di Lembar pukul dua sore. Setelah turun dari ferry saya pergi ke kampung nelayan untuk mencari boatman karena saya tidak minta dijemput sama pengelola penginapan di Nanggu nya. Masuk ke gang, tanya ke warung, masuk ke dapur rumah orang, keluar gang lagi dan akhirnya ketemu deh seorang bapak tua yang mau mengantar saya ke Nanggu. Dia punya sampan bercadik yang sebenarnya sih saya ngga terlalu percaya bisa mengapung apalagi menyeberangi selat yang lagi lumayan beriak-riak tinggi. Tapi mau gimana lagi. I surrender my soul to this old boatman.

Satu jam lebih terombang-ambing dan basah kuyup di laut membuat saya mengerti mengapa ada istilah "swallowed by the sea" alias ditelan lautan. Ya, gelombang laut itu memang seperti mulut raksasa yang kelaparan, siap mengembat siapa saja yang lengah. Saya bisa berenang tapi kalau melihat gelombang laut biru kehitaman seperti itu....hii....jiper juga loh...apalagi sampan ini ngga ada life jacketnya, boro-boro life raft. Pray hard itu saja safety instructions nya.



Selaparang

Selaparang dulunya adalah nama kerajaan kuno di Nusa Tenggara. Sekarang nama ini dipakai buat nama bandara di Lombok. Ruang check in dan ruang tunggunya amat kecil, mirip banget sama airport Luang Prabang di Laos. Dalam beberapa hal sih Selaparang lebih modern, antara lain soal security system nya.

Saat boarding kita menuju pesawat dengan berjalan kaki, melalui tarmac dan area taxiing pesawat. Saat itu schedule take off saya adalah jam 6.15 pagi. Jadi saat berjalan di landasan itu bisa terlihat pemandangan sunrise yang surprisingly gorgeous. Di sebelah utara runway berjajar bukit-bukit yang bergelombang, dan di ujung kaki bukit sebelah kiri itulah matahari muncul dengan segannya. Seperti layaknya para backpackers yang enggan meninggalkan pantai-pantai indah di pulau ini. But the journey must continue. Saya harus berjalan lagi. Bye bye Selaparang.....